Bahasa Jawa sebagai salah satu unsur dari kebudayaan (Jawa) mengandung nilai-nilai yang bisa menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, kata Dhanang Puguh pemerhati kebudayaan Jawa dari Universitas Diponegoro.
“Nilai-nilai itu terkandung dalam sastra lisan dan tulis yang menggunakan bahasa Jawa,” kata dia, yang adalah Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang, di Semarang, Minggu (16/10/2016) petang seperti dilansir Antara.
Dosen yang punya minat terhadap kebudayaan Jawa itu mengemukakan bahwa relatif banyak sastra piwulang yang dapat menjadi pedoman dalam berperilaku.
“Ada banyak juga ungkapan Jawa yang berfungsi sebagai pedoman perilaku. Paribasan, wangsalan, dan tembang isi pesannya dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan budi pekerti,” katanya.
Menjawab soal tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa, yaitu kromo inggil, kromo madya, hingga ngoko (tingkatan bahasa yang terendah dalam bahasa Jawa), Dhanang mengatakan, “Mula-mula, saya kira ada unsur untuk membedakan kedudukan sosial. Menurut sejarah, penggolongan ini terjadi pada masa kerajaan Mataram pada masa Sultan Agung.”
Penggolongan itu, lanjut Puguh, akhirnya dapat diterima masyarakat Jawa. Masyarakat akhirnya menempatkan diri sesuai dengan kedudukannya ketika berkomunikasi dengan orang lain.
“Apabila tidak tahu tentang hal itu, dianggap kurang sopan. Fakta-fakta ini menunjukkan tentang hal itu, khususnya yang mengakrabi kebudayaan Jawa,” kata dia.
Sampai saat ini, kata dia, masyarakat Jawa yang kurang terampil berbahasa Jawa (lisan) dalam berkomunikasi sering menyatakan permohonan maaf apabila di dalam berkomunikasi ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata.
“Itu artinya orang Jawa memiliki kesadaran ketika berkomunikasi dengan bahasa Jawa bahwa penggunaan kata yang kurang tepat dapat mengakibatkan ketidaksopanan,” kata dia. (ant/dwi)