Sabtu, 23 November 2024

Belum Ada Putusan MK, Kuasa Hukum Yakin UU Pemda Bermasalah

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan

Edward Dewaruci Kuasa Hukum Gugatan Uji Materi Pengalihan Kelola SMA/SMK dari Pemerintah Kota ke Pemerintah Provinsi di Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, belum ada putusan perkara oleh MK.

Edward mengaku telah bersurat menanyakan jadwal pengucapan pemutusan perkara ke MK. Namun dia mendapat balasan surat nomor 131/Panitera MK, tertanggal 10 Oktober 2016, yang isinya perkara itu masih dalam proses pembahasan.

“Saat ini perkara tersebut masih dalam proses pembahasan rapat permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup, untuk menentukan tindak lanjut perkara itu,” ujarnya membacakan isi surat balasan dari MK, Rabu (19/10/2016).

Persidangan perkara pengalihan kelola SMA/SMK dengan agenda mendengarkan saksi di Mahkamah Konstitusi, kata Edward, terakhir kali pada 8 Juni 2016 lalu.

“Ya, intinya meminta untuk menunggu. Karena surat itu kan tidak menyebutkan kapan keputusan itu,” katanya kepada suarasurabaya.net, lalu tertawa.

Sementara itu, pengalihan pengelolaan SMA/SMK sudah mulai berlaku sejak Oktober ini. Pada awal 2017 nanti, sesuai UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota sudah tidak berwenang mengelola SMA/SMK.

Edward mengatakan, hal ini bukan mengindikasikan bahwa uji materi yang diajukan oleh wali murid beberapa siswa SMA/SMK di Surabaya ke MK akan kalah.

“Kalah menang itu nanti kalau sudah ada putusan. Tapi dari persidangan terakhir, UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah ini memang bermasalah,” katanya.

Dia menilai hal ini dari beberapa persidangan terakhir di MK berkaitan uji materi UU Pemda, tidak hanya berkaitan dengan pendidikan, tapi juga poin undang-undang di bidang lain dipersoalkan.

“Soal kesbanglinmas, perhubungan, kehutanan, pertambangan, tenaga pengawas ketenagakerjaan. Semua sedang dipersoalkan,” ujar Edward.

Karena itu Edward mengaku yakin, apa yang dia sampaikan dan buktikan di persidangan adalah benar. Menurutnya, penerjemahan pengelolaan pendidikan seharusnya melihat situasi dan kondisi kabupaten/kota yang sudah memiliki kemampuan.

“Kalau kabupaten/kota itu sudah memiliki kemampuan, tidak perlu lagi kontrol lebih dari Pemprov maupun Pemerintah Pusat, artinya sifat otonomi dari UU Pemda itu ada. Muncul,” katanya.

Tidak seharusnya, kata Edward, UU Pemda mengembalikan sistem pengelolaan pemerintah kembali ke sistem desentralistik lagi. Pembagian kewenangan dilakukan dengan cara kongruen, seperti membagi kue.

“Tidak bisa seperti itu. Kondisi kabupaten/kota dengan segala kemampuannya dan kebutuhannya juga mesti jadi pertimbangan,” ujarnya.

Menurutnya, UU Pemda seharusnya memunculkan format agar daerah yang belum maju mencontoh kabupatan/kota yang sudah bagus.

“Akhirnya semua jadi bagus. Bukannya yang sudah bagus terus dipotong. Misalnya, yang tadinya punya anggaran Rp2,1 triliun untuk pengelolaan pendidikan, lebih dari 20 persen APBD, terus sekarang terpaksa guru honorernya enggak jelas bayarannya berapa,” ujarnya.

Edward mengatakan, secara formal Pemkot Surabaya harus tetap berpatokan pada UU yang ada. Sehingga mau tidak mau, Pemkot Surabaya harus memberikan pengelolaan SMA/SMK kepada Pemprov Jatim.

“Kalau nanti ada komunikasi antara pemprov dan pemkot, untuk menjalin sinergi dalam hal pembiayaan dan sebagainya, ya nanti dilihat, kalau Pemkot Surabaya mempunyai peluang pengelolaan penuh lagi, ya berarti aman,” ujarnya.

Kalau hasilnya kalah, menurut Edward, tuntutan warga Surabaya tetap sama. “Sebagai warga negara, hak konstitusi warga ini kan harus dipenuhi,” katanya.

Edward menekankan, bahwa warga Surabaya, orangtua, juga siswa harus punya jaminan bahwa fasilitas pendidikan yang mereka dapat ketika sudah dikelola oleh Provinsi, tidak berubah.

“Jangan downgrade. Kalau dikelola provinsi terus downgrade, berarti melanggar konstitusi. Gitu aja,” ujarnya.(den/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs