Sabtu, 23 November 2024
Gelar Budaya Purnama Sura

Kemendikbud dan Padepokan Seni Kirun Meruwat Massal 300 Orang

Laporan oleh Jose Asmanu
Bagikan
Suasana Ruwatan Purnama Suro di Madiun. Foto: Setpres

Sebanyak 300 orang memadati pendopo Padepokan Seni Kirun, Kota Madiun, Sabtu (22/10/2016). Mereka merupakan peserta ruwatan massal atau sukerto pada Gelar Budaya Suroan Purnama Sura.

Acara ini diselenggarakan atas kerja sama Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjenbud Kemendikbud) dengan Padepokan Seni Kirun. Ruwatan merupakan ritual menghilangkan hambatan atau sukerto di dalam diri seseorang.

Sri Hartini Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Ditjenbud, mengatakan, keterkaitan ritual ruwat sebagai rangkaian peringatan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1438 Hijriyah. Bagi masyarakat Indonesia, terdapat peringatan tahun baru Hijriyah atau Suro yang sangat berbeda perayaannya dengan tahun baru di tahu masehi.

Ketika merayakan Tahun Baru Suro, masyarakat Indonesia selalu berusaha merekatkan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa.

“Di sinilah ruwatan hadir sebagai bentuk perenungan agar mencapai penyucian baik di dunia maupun akhirat,” katanya.

Ruwatan, kata Hartini, juga sekaligus menjaga tradisi bangsa Indonesia. Ada kekayaan budaya dan kearifan lokal yang mengerucut di dalam kehidupan bangsa, menjadi Pancasila dan ideologi negara terakumulasi dalam nilai kehidupan.

Cak Kirun pemimpin padepokan seni mengatakan, antusiasme masyarakat tahun ini menunjukkan kenaikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Ini di Padepokan Kirun sudah terlaksana delapan kali, dan kali ini yang terbanyak, sampai 300 sukerto, kemarin-kemarin hanya 100-an saja,” kata plawak Kirun ini.

Pada ritual tahapan pertama, kata Cak Kirun, para sukerto melakukan prosesi sungkeman kepada orang tua untuk memohon maaf atas segala kesalahan yang dilakukan.

“Ritual sungkeman untuk mengingatkan ketika kecil dirawat orang tua, bahkan sampai tidak bisa mandi maka dimandikan kembali oleh orang tua,” katanya.

Kali ini, terdapat metode berbeda usai ruwatan. para peserta mengenakan kain mori. Mori ini merupakan pakaian yang dikenakan para peserta ruwat yang dipercaya memiliki hambatan.

“Sebelumnya, mori itu dibuang, sekarang berbeda, kita cari manfaatnya, bisa kita serahkan ke pesantren yang membutuhkan, sehingga hanya rambut saja yang dipotong yang dibuang,” kata Cak Kirun.

Menurut pegiat seni ini, saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami kekuatan budaya untuk membangun bangsa.

“Semua orang luar negeri tau kalau kita punya budaya, semua cari budaya ke sini,” katanya.

Filosofi di setiap budaya pun mendalam, sangat relevan dengan kondisi sekarang. Dia mencontohkan, pemberian sesajian pada gelaran ruwatan. Menurutnya, sesajian itu bentuk anugerah dari Sang Pencipta.

“Semua harus tahu bahwa semua yang ada itu disajikan asalnya dari Allah, dan kamu harus tahu bahwa apa yang kita makan itu anugerah Tuhan, jadi yang disajikan itu untuk yang hidup, bukan untuk Demit atau Setan yang diberikan sesajen,” katanya. (jos)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
29o
Kurs