Senin, 25 November 2024

Perspektif Korban Pada Isu Terorisme Belum Banyak Disentuh Media

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
Pelaksanaan short course penguatan reportase isu terorisme dari perspektif korban. Foto: humas Aida

Perspektif korban pada peliputan isu atau peristiwa terorisme di negeri ini ternyata masih belum banyak disentuh oleh media massa. Sehingga perkembangan keberadaan serta bagaimana kondisi korban sejatinya tidak banyak diketahui.

“Padahal keberadaan mereka ini sangat penting. Bukan saja sebagai bukti bahwa telah terjadi peristiwa kekerasan yang dialami warga negara, tetapi sekaligus untuk membuktikan atau menunjukkan bahwa negara bertanggungjawab terhadap apa yang menimpa warganya. Ini sangat penting,” terang Hasibullah Satrawi Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida).

Lebih lanjut Hasibullah Satrawi menjelaskan bahwa media lebih banyak membahas peristiwa yang terjadi, bagaimana komentar pakar, statement aparat keamanan, hingga wawancara para tokoh agama. “Kalaupun tentang korban, masih sebatas identifikasi saja,” kata Hasibullah.

Padahal, para penyintas atau survival peristiwa kekerasan terorisme tersebut masih harus melanjutkan hidupnya. Bagaimana para penyintas ini kemudian melanjutkan hidup dengan berbagai perubahan pasca terjadinya peristiwa kekerasan itulah yang masih belum banyak disentuh.

“Media di tengah derasnya arus informasi memang tidak sempat melanjutkan atau mendalami perspektif korban pada peristiwa kekerasan terorisme. Butuh sourche, dan effort yang tidak kecil. Ini juga persoalan. Hak-hak para penyintas ini wajib juga dipenuhi oleh negara pasca peristiwa terjadi,” lanjut Hasibullah.

Dan media, tegas Hasibullah punya kekuatan untuk mensupport penyampaian hak-hak para penyintas ini melalui media masing-masing. “Ini penting sekali. Dan itulah perspektif korban yang kami maksud,” kata Hasibullah.

Wayan Leniasti, 38 tahun istri dari Kadek Sukerna satu diantara korban bom Bali pertama, pasca meninggalnya sang suami harus berjuang melanjutkan hidup demi dua anak dan keluarganya. Padahal Kadek Sukerna adalah satu-satunya tulang punggung keluarga.

“Setelah peristiwa itu, kami tetap harus hidup. Anak-anak harus makan, keluarga juga. Saya sendiri harus terus bekerja. Bahkan sampai saya lulus S2, tetap harus berusaha sendiri dan mengerjakannya sendiri, semua kami perjuangkan sendiri,” ujar Leni sapaan Wayan Leniasti.

Bahkan Leni mengisahkan harus bayar 300 ribu rupiah untuk ongkos ambulan yang membawa jenazah suaminya ketika itu dari RSUD Sanglah menuju rumahnya di Singaraja. “Kami juga heran. Di tengah derita kami saat itu ternyata ada aturan yang seperti itu,” lanjut Leni.

Media sebagai ujung tombak pemberi informasi kepada masyarakat luas, diharapkan Hasibullah mampu menjadi penghubung antara para penyintas peristiwa kekerasan terorisme dengan negara, dalam rangka pemenuhan hak-hak para penyintas sendiri.

“Ke depan nanti, kami berharap media mampu melakukan peliputan dari perspektif korban, dalam hal ini hak-hak mereka sebagai warga negara, serta tanggung jawab negara terhadap warganya. Dan kami dari Aida akan dengan senang hati memberikan support,” tegas Hasibullah Satrawi saat menjadi nara sumber dalam short course yang diikuti sejumlah wartawan di Surabaya.(tok/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
33o
Kurs