Di area yang bising, ratusan orang bekerja di sumur-sumur minyak tua di tengah hutan jati pegunungan Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro. Demi meraup lantung (minyak mentah, red), mereka tidak peduli terik dan curamnya perbukitan.
Deru mesin mobil tua membagi ratusan pekerja ini ke dalam kelompok kecil. Satu tim terdiri dari tiga hingga lima orang yang dipandu mandor yang menjalankan mobil tua termodifikasi untuk menarik timba baja lonjong dari dalam tanah. Sekali tarik, timba-timba yang terbuat dari baja panjang berdiameter 5 cm ini memuncratkan air bercampur lantung dari perut bumi.
Bagi mereka, ilmu geologi maupun pertambangan tidaklah diperlukan. Cukup berbekal tekat dan pengalaman, mereka sudah belasan tahun menambang di kawasan yang masuk Wilayah Kerja Penambangan (WKP) Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) Asset 4 Field Cepu yang merupakan anak usaha PT Pertamina.
Muhammad Sofi, 56 tahun, salah satu mandor di sumur tua Wonocolo yang hanya lulusan SD, ternyata sudah hampir 15 tahun bekerja di salah satu perusahaan pengelola lima sumur tua.
Ditemui suarasurabaya.net pada Minggu (4/9/2016) siang, Soffi sedang memainkan tuas gas mobil yang telah dimodifikasi dengan sebuah tongkat. Sesekali dia mengangkat dan menurunkan tuas sambil menunggu aba-aba dari penjaga timba.
Prinsip kerja mobil tua yang dikendalikan Soffi sangatlah sederhana. Memanfaatkan putaran velg roda tanpa ban yang lantas velg dipenuhi dengan lilitan tali, maka putaran roda dengan sendirinya bisa mengangkat dan menurunkan timba baja yang tertanam di kedalaman 300-500 meter di dalam perut bumi.
Saat timba ditarik, belasan liter lantung bercampur air berwarna kemerahan akan langsung menyembur. Minyak yang masih tercampur air ini, lantas dialirkan ke dalam drum-drum besar yang berjajar di bawah tebing.
Untuk memisahkan lantung juga sangat sederhana. Cukup melubangi bagian bawah drum, maka air tanah yang memiliki berat jenis lebih berat dari minyak akan langsung terbuang melalui lubang di bawah tersebut.
“Meski sudah dipisahkan, lantung tidak bisa langsung kami jual karena harus melalui penyulingan lanjutan dengan cara direbus sehingga minyak dan air benar-benar bisa terpisahkan,” ujar Sofi.
Tempat penyulingan minyak juga sangat sederhana berbentuk tong besar yang tertanam di dalam tanah yang lantas direbus dengan menggunakan kayu hutan. Hasil rebusan inilah yang lantas disalurkan melalui pipa ke tempat penampungan minyak mentah dan siap untuk dijual ke koperasi yang menaungi para penambang tradisional.
Bapak empat anak ini mengatakan, bekerja di sumur tua tidak bisa terus menerus karena harus menunggu sumur terisi rembesan minyak. Setiap sumur biasanya hanya ditimba dalam waktu dua hingga tiga jam saja. Selanjutnya, Sofi dan timnya akan berpindah ke sumur tua lainnya.
Bekerja di satu sumur, tim yang dikomandani Sofi biasa mendapat upah Rp150-200 ribu. Dalam sehari, warga asli Wonocolo ini setidaknya bisa bekerja di tiga hingga lima sumur.
Sunarto, pemilik lima sumur tua di Wonocolo mengatakan, mengelola sumur tua saat ini sudah tidak begitu menjanjikan keuntungan. Dengan harga minyak yang dijual ke pertamina sebesar Rp2.025 perliter, dalam sebulan lima sumur tua miliknya hanya mampu menghasilkan keuntungan kotor tak sampai Rp70 juta.
Padahal dalam sebulan dirinya harus mengeluarkan honor bagi 15 karyawannya hingga Rp30 juta. Belum lagi untuk biaya lain termasuk merawat peralatan. Apalagi, investasi sumur tua tidaklah murah karena satu sumur harus dibeli dengan biaya investasi sekitar Rp1 miliar.
“Saya membeli sumur secara bertahap sejak tahun 2010, memang ada sumur yang hanya saya beli Rp500 juta, tapi rata-rata harganya mencapai Rp1 miliar,” kata dia.
Pada era sebelum tahun 2010, keuntungan para penambang tradisional masih cukup menggiurkan ketika satu sumur mampu menghasilkan lantung hingga 10.000-20.000 liter perhari. Kini, sumur-sumur tua di kawasan itu hanya mampu berproduksi sekitar 1.000 liter perhari.
Meski produksi minyak menurun, namun puluhan pemilik sumur tua kini bisa bernafas setelah pada April 2016, Pertamina dan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menetapkan kawasan Wonocolo sebagai destinasi wisata baru bertema Petrolium Geoheritage atau wisata migas.
Mochamad Tarom, Camat Kedewan menuturkan, Wonocolo pada era 1970 sempat menjadi desa terkaya. Sumbangan dari para pemilik sumur minyak juga menjadikan Wonocolo memiliki balai desa yang termegah dan terluas di Bojonegoro. Bahkan, sosok tokoh yang membesarkan sumur tradisional Wonocolo sekaligus mantan Kepala Desa yang bernama Watah Wartosentono, kini dibuatkan sebuah patung besar yang terpasang khusus di gerbang desa.
Sejak masa Watah Wartosentono, tambang minyak tradisional di kawasan itu memang meluas dan tersebar tak hanya di Wonocolo, melainkan juga di empat desa lain, yakni Hargomulyo, Beji, Kedewan, dan Desa Kawengan, dengan total lebih dari 500 titik sumur.
Sayangnya, kejayaan sumur tua mulai sirna. “Kini mayoritas sumur sudah tidak berproduksi sehingga berbagai upaya dilakukan salah satunya dengan mengubah kawasan ini menjadi destinasi wisata,” kata Mochamad Tarom.
Dengan objek wisata, maka para penambang kini tak lagi menggantungkan hidup pada minyak. Bisnis baru berupa persewaan mobil jeep serta motor trail mulai laris. Para wisatawan bisa menikmati eksotisme tambang minyak Wonocolo sambil off road melalui jalur-jalur ekstrim yang telah didesain meliuk di antara drilling rig tradisional berbentuk tripod-tripod besi kusam dari sumur-sumur tua Wonocolo.
Sebutan baru berupa “Teksas Wonocolo” juga disematkan di kawasan ini. Suyoto Bupati Bojonegoro mengatakan, wisata migas di Desa Wonocolo adalah yang pertama di Indonesia. Nama Teksas Wonocolo sengaja digunakan karena kawasan Wonocolo mirip dengan kawasan migas di Texas Amerika Serikat. “Bukan Texas tapi Teksas, atau singkatan Tekad, Selalu, Aman dan Sejahtera,” kata bupati dua periode ini ketika ditemui di Pendopo Bojonegoro, Sabtu (3/9/2016).
Menurut Suyoto, perubahan fungsi utama kawasan Wonocolo menjadi destinasi wisata, murni karena potensi migas di daerah itu yang hampir habis. Energi terbarukan mungkin bisa diciptakan, namun bagi warga sekitar, kehidupan hutan Wonocolo tak bisa begitu saja ditinggalkan.
Suyoto menyebut, meski 20 persen cadangan energi nasional ada di Bojonegoro, namun kawasan Wonocolo memang tak bisa lagi dipertahankan karena daerah itu sudah dieksploitasi sejak zaman Belanda sehingga saat ini tinggal mencari sisa-sisa cadangan yang ada.
Di Bojonegoro sebenarnya ada empat blok migas yaitu lapangan Banyu Urip Blok Cepu yang dikelola Exxon Mobil Cepu Limited (EMCL), lapangan Sukowati yang dikelola Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB PPEJ), lantas Tiung Biru dan sumur tua Wonocolo yang dikelola Pertamina EP Asset IV Cupu.
Cadangan migas lapangan Banyu Urip Blok Cepu, diperkirakan mencapai 450 juta barel. Saat ini puncak produksi lapangan migas Banyu Urip Blok Cepu telah tercapai yaitu 165.000-170.000 BOPD (Barrels of Oil per Day, barel perhari, red).
Sementara cadangan gas bumi lapangan Jambaran Tiung Biru mencapai 12 juta kaki kubik. Lapangan Jambaran Tiung Biru ditargetkan mulai produksi sebesar 227 kaki kubik gas bumi per hari (MMSCFD) pada kuartal pertama 2019, dan mencapai puncak produksi sebesar 315 kaki kubik gas bumi per hari pada tahun 2020.
Amin Widodo, Pakar Geologi dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya mengakui cadangan migas di Wonocolo memang tak lagi banyak karena sudah dieksploitasi sejak zaman Belanda. “Meski sifatnya tradisional, namun lama kelamaan cadangan migasnya pasti habis. Beruntung warga di sana sekarang masih bisa hidup dengan perubahan fungsi tambang menjadi tempat wisata,” ujar Amin.
Agus Amperianto, Field Manager PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu mengatakan, selain potensi migas yang menurun, banyak penambang nakal yang bermain di Wonocolo sehingga dari target 1.000 barel perhari saat ini hanya tercapai 300-400 barel perhari.
“Saat ini selain potensi migas, kami memang fokus untuk kawasan Petrolium Geoheritage. Minimal dengan menjadikan desa wisata, warga sekitar juga semakin sadar akan aspek keselamatan dan lingkungan. Selain itu, jumlah sumur liar yang semakin tak terkendali juga bisa dihindari dengan perubahan fungsi kawasan ini,” kata Agus.
Kemandirian Energi Nasional
Di sela-sela hadir dalam sebuah acara di ITS pada Sabtu (29/10/2016), Arcandra Tahar Wakil Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mengatakan, jalan lain untuk keberlangsung energi di Indonesia memang harus segera diciptakan.
“Suatu saat kita tidak akan lagi memproduksi minyak. Tahun 1980an, minyak yang ditemukan di Indonesia dan yang diproduksi hampir sama, tapi sejak tahun 2014, yang diproduksi sudah empat kali lipat dari yang ditemukan,” kata Arcandra.
Adapun teknologi yang mampu memproduksi migas dengan sempurna juga belum ditemukan. Pada teknologi tingkat pertama, ternyata hanya mampu memproduksi atau mengangkat minyak dari perut bumi dikisaran 20-25 persen. Begitu juga teknologi tingkat lanjutan juga hanya mampu menambah efektivitas produksi sekitar 5-7 persennya.
Teknologi tingkat ketiga-pun, kata Arcandra, ternyata hanya mampu menambah efektivitas produksi 5-10 persen. “Jadi sekarang ini maksimum produksi hanya 50-40 persen saja. 60 persen masih ada di perut bumi,” ujar pemilik hak paten tentang desain offshore di Amerika ini.
Dengan produksi minyak yang hanya 800 ribu barel perhari, maka minyak di Indonesia diprediksi hanya akan bertahan hingga 12 tahun ke depan. Padahal rata-rata di dunia saat ini mampu bertahan hingga 50 tahun, bahkan Amerika bisa bertahan hingga 117 tahun ke depan.
Cadangan minyak di Indonesia hanya mampu bertahan singkat karena tidak adanya keberanian dalam mengambil resiko serta belum dimilikinya teknologi baru untuk mendulang minyak dari perut bumi.
“Bayangkan untuk eksplorasi butuh US200-250 juta dolar per sumur, idelanya butuh tiga hingga empat sumur baru efektif sehingga total yang dibutuhkan untuk sekali ekplorasi mencapai Rp13 triliun. Tidak ada jaminan dapat minyak dan gas, artinya ini resiko tinggi dan hanya perusahaan besar yang sanggup,” kata doktor lulusan Texas A&M Univeristy Ocean Engineering ini.
Tak hanya minyak, gas juga belum bisa maksimal karena mayoritas diolah menjadi LNG yang berarti keuntungan hanya akan berhenti di situ. Padahal gas harusnya dimanfaatkan untuk industri berkelanjutan semisal dijadikan pupuk sehingga keuntungan yang didapatkan juga bisa lebih tinggi.
Karenanya, teknologi adalah kunci. Amerika misalnya, jika pada tahun 2007 hanya mampu memproduksi 4,5 juta barel perhari, namun dengan teknologi, mereka kini memproduksi hingga 9,5 juta barel perhari. “Padahal di Indonesia teknologi kita tidak berkembang. Kita selalu takut dan ditakut-takuti,” ujar Arcandra.
Dengan kondisi ini, maka energi terbarukan wajib dikelola. Indonesia saat ini bukan lagi berfikir memilih atau lari dari energi terbarukan, melainkan harus segera mencari energi terbarukan yang tepat bagi kultur Indonesia.
Potensi energi terbarukan di Indonesia juga cukup besar mulai dari geothermal atau panas bumi dimana Indonesia kini memiliki 40 persen cadangan panas bumi dunia.
Belum lagi energi dari matahari yang menjadikan negara-negara katulistiwa seperti Indonesia mendapatkan penyinaran matahari sempurna selama 10-12 jam perhari. Selain itu, banyaknya sungai beraliran deras dan air terjun juga menjadikan tenaga air juga bisa dimanfaatkan.
Dengan tingkat kesuburan tanah yang lumayan tinggi juga menjadikan energi dari biomassa akan sangat mudah diproduksi di Indonesia. “Tentu ada juga energi dari angin yang juga bisa dimanfaatkan. Kita masih mencari mana yang tepat dengan kultur Indonesia,” kata Arcandra.
Pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia saat ini memang masih kecil dan diharapkan baru bisa meningkat pada tahun 2025 dengan target saat itu energi terbarukan bisa menyuplai 23 persen kebutuhan energi nasional.
Dwi Soetjipto, direktur utama PT Pertamina mengatakan, kebutuhan minyak di Indonesia saat ini mencapai 1,6 juta barel perhari. Dengan produksi hanya sekitar 800 ribu barel perhari, maka 50 persen kebutuhan hingga kini masih harus mengandalkan impor.
“Problem mendasarnya karena kita sudah lama tidak bangun kilang baru. Ada isu kilang baru tidak ekonomis, padahal Sigapura bisa bangun kilang yang ekonomis dan mereka bisa menjual minyak ke Indonesia,” kata mantan Direktur Utama PT Semen Indonesia ini.
Pertamina sendiri selain berencana membangun kilang baru, juga akan terus mencari dan menguasai cadangan minyak yang ada di luar negeri dengan target pada tahun 2025 Pertamina mampu mencukupi 80 persen kebutuhan dalam negeri.
Kemandirian energi juga dilakukan dengan melakukan efisiensi diantaranya dengan menekan potensi kehilangan minyak (losses). “Sampai September kemarin kami berhasil melakukan efisiensi dari losses mencapai Rp20 triliun,” kata Dwi.
Hal yang sama diungkapkan Umi Asngadah, Direktur Gas Bumi Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas. Menurut dia, Indonesia hingga saat ini tidak memiliki cadangan energi yang memadai. Dari data yang dia miliki, produksi elpiji saat ini baru mencapai 2,2 juta metrik ton (MT) dengan total impor mencapai 4,1 juta MT. Begitu juga minyak bumi hingga saat ini produksinya baru 830 ribu barel perhari dengan impor yang mencapai 770 ribu barel perhari.
“Untuk minyak, kemandirian energi akan terwujud dengan pembangunan dua kilang minyak baru,” kata Umi. Sedangkan untuk mengimbanginya, maka program konversi dari minyak ke gas juga harus segera dilanjutkan. Apalagi konversi di Papua hingga saat ini juga belum sepenuhnya dilakukan.
Sementara itu Satya Widya Yuda, anggota Komisi VII DPR mengakui Indonesia masih belum mampu berkuasa penuh atas penguasaan migas. “Di Cepu misalnya, Exxon masih berkuasa meskipun Pertamina sebenarnya ada di sana,” kata alumni Teknik Kimia ITS Surabaya ini.
Kemandirian energi, harusnya dilakukan dengan pengelolaan dengan benar dan secara penuh sumber-sumber energi yang ada di dalam negeri. Dia mencontohkan, saat ini kebutuhan minyak masih sepenuhnya bergantung pada impor, begitu juga harga gas juga masih sangat mahal sehingga belum bisa memberikan keuntungan bagi masyarakat.
Pemerintah, harus segera mengubah pola untuk memanfaatkan energi sebagai penggerak ekonomi dan bukan semata menggunakan energi untuk ladang pendapatan negara. Kontribusi energi di APBN saat ini juga terus turun. Jika pada zaman orde baru kontribusinya mencapai 50 persen, saat ini kontribusi energi di APBN hanya menyisakan 16 persen dari total penerimaan negara.
Muhtasor pengamat industri migas dari ITS Surabaya menambahkan jika kemandirian migas di Indonesia akan sulit terwujud jika pengelolaan migas masih dikuasai asing. Dari catatan dia, hingga saat ini Pertamina hanya mengelola 25 persen cadangan migas. “Penguasaan asing mencapai 85 persen,” ujar anggota Dewan Energi Nasional ini.
Pemerintah, kata Muhtasor, harusnya belajar dari PT Semen Indonesia. Ketika awal dibangun, Semen Gresik saat itu didirikan oleh Amerika, namun dua tahun kemudian bisa dikelola secara mandiri oleh pemerintah. Muhtasor lantas mengutip kata-kata Bung Hatta yang begitu terkenal itu “Kemandirian energi baru terwujud jika rakyat benar-benar bisa merasakan energi yang murah, adil serta merata”. (fik)