Menjelang Pemilu Presiden AS yang akan berlangsung pada 8 November waktu setempat, berbagai kemungkinan masih bisa terjadi. Airlangga Pribadi Dosen Ilmu Politik Unair yang menjadi pengamat independen pemilu AS mengatakan, saat ini selisih hasil jajak pendapat kedua Capres berjarak sangat tipis.
“Kondisi sekarang seru sekali menjelang pemilihan Presiden. Masing-masing kandidat bersaing sangat keras. Saat ini memang Hillary yang mendominasi, tapi selisih keduanya semakin lama semakin tipis,” kata Airlangga saat dihubungi Radio Suara Surabaya, di Iowa Amerika Serikat, Selasa (8/11/2016).
Airlangga juga mengatakan, dalam beberapa survey yang ada, seperti survey dari USA Today, jarak antara kedua Capres berjarak 45 persen untuk Hillary Clinton dan 43 persen untuk Donald Trump.
Padahal, kata Airlangga, sebelumnya jarak hasil jajak pendapat menunjukkan jarak yang tinggi, namun saat ini sudah tidak jauh berbeda.
“Dengan selisih seperti itu, kemungkinannya nanti akan dinamis,” katanya.
Menurutnya, naiknya jumlah pemilih Trump saat ini dikarenakan beberapa faktor. Pertama, di Amerika Serikat dalam lima tahun terakhir mengalami krisis upaya recovery politik dari Obama yang mendapat tantangan keras oleh Kongres yang didominasi oleh Partai Republik.
“Kedua, di mayoritas masyarakat berpendapat kinerja pemerintah (yang diusung Partai Demokrat) tidak menjalankan tugas dengan baik,” katanya.
Sedangkan yang ketiga, kata Airlangga, hal ini juga dikarenakan isu yang sempat menguat terkait skandal email Hillary yang membuat suara Trump terdongkrak naik.
“Meskipun begitu, saya kira Demokrat juga sangat all-out bahkan sampai Obama harus turun tangan untuk kampanye dukung Clinton. Selain itu, langkah-langkah yang dilakukan oleh Obama juga keras, dengan memperingatkan kepada FBI agar tidak mempolitisasi isu email tersebut,” katanya.
Meskipun begitu, kata Airlangga, Donald Trump juga tidak kalah kerasnya dengan yang dilakukan Obama. Hal itu terkait isu yang cukup krusial, yaitu Partai Demokrat yang memperingatkan Trump yang telah melakukan intimidasi kepada voter kubu lawannya.
Airlangga mengatakan, saat ini pemimpin lintas agama dan tokoh masyarakat imigran cenderung memilih Hillary karena beberapa hal. Ini terkait akibat Trump yang memainkan isu SARA seperti membahas masyarakat asli Amerika atau tidak, yang membuat tidak nyaman masyarakat disana.
Untung rugi apabila Hillary atau Clinton yang menjadi Presiden juga menjadi pertimbangan.
“Bila Hillary menjadi Presiden, nantinya yang terjadi adalah adanya kelanjutan dari kebijakan Obama kemarin. Selain itu, Hillary memiliki pengalaman politik, artinya bisa bangun konsensus politik yang sebelumnya tidak bisa dilakukan oleh Obama. Sedangkan untuk eksternal, proses yang berjalan yaitu keterbukaan perdagangan, hubungan AS-Indonesia juga masih akan berjalan,” ujarnya.
Namun, kata Airlangga, kekhawatiran akan muncul apabila Trump yang akan menjadi Presiden. Menurutnya hal itu berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh Trump ketika berkampanye beberapa waktu yang lalu.
Saat itu dia menawarkan kebijakan yang protektif untuk Amerika, kebijakan yang mengutamakan Amerika. Selain itu, menurut Airlangga, kemungkinan Trump akan melakukan tindakan yang cenderung keras untuk negara lain. (tit/rst)