Siapa yang tak tahu peristiwa heroik di Hotel Oranje atau Hotel Yamato oleh Arek-arek Suroboyo? Peristiwa itu selalu disinggung dalam peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November.
Bung Tomo, tokoh pahlawan Surabaya menyebut momen bersejarah pada 19 September 71 tahun silam dalam bukunya berjudul 10 November sebagai “Lenyapnya Lambaian Tri Warna.”
Momen itu juga terekam dalam buku Dr William H. Frederick, Akademisi asal Amerika Serikat, berjudul Visions and Heat, The Making of the Indonesian Revolution. Frederick menyebut momen itu sebagai “Insiden Bendera.”
Momen bersejarah ini terekam baik dengan kamera milik Abdul Wahab Saleh, fotografer Kantor Berita Antara yang pernah bernama Domei pada masa Pendudukan Jepang di Indonesia.
Tapi tidak banyak yang tahu kisah di balik foto-foto bersejarah itu.
Tanpa jasa seorang perempuan Surabaya yang turut berjuang selama revolusi, foto-foto perobekan Bendera Belanda di hotel yang kini bernama Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan, tidak pernah terpublikasi.
Surabaya, pascaperistiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam kondisi aman dan tenang. Dr William Frederick dalam bukunya menyebutkan, tak ada gejolak berarti pada minggu-minggu pertama setelah kemerdekaan.
Warga Kota Surabaya merasakan euforia kemerdekaan dengan cara-cara positif. Terutama mengenai lambang-lambang kemerdekaan. Merah Putih Bendera Indonesia segera muncul di banyak lokasi di Kota Surabaya.
Warga di kampung-kampung, menjahit sendiri potongan kain merah dan putih. Para penjahit, tak sedikit yang kebanjiran pesanan bendera dari masyarakat.
Para pedagang, dalam masa seperti ini, sangat tanggap membaca minat pasar. Bendera merah putih kecil segera beredar dengan harga yang hampir seragam.
Pada pertengahan September 1945 itu, Maimunah Sarah pedagang kue asal Pabean Sayangan turut merasakan euforia ini. Dia menjajakan kue di lokasi tak jauh dari tempat berdirinya gapura wisata religi Sunan Ampel saat ini.
Sarah mendapati becak-becak yang berlalu-lalang di sekitaran jalan Masjid Sunan Ampel itu berhias bendera-bendera kecil merah putih. Tapi kecemasannya tidak berkurang.
Kecemasannya muncul ketika Siti Hanifah putrinya sibuk dalam kegiatan pemuda bentukan Jepang sejak lulus Huishoud School di Jalan Kamboja. Sejak munculnya Seinendan hingga Fujinkai, Hanifah aktif mengikuti pelatihan-pelatihan semi militer itu.
Kecemasannya hari itu bertambah ketika dia mendengar kabar dari orang-orang, ada kerusuhan di Jalan Tunjungan. Markas tempat Abdul Wahab Saleh, putra sulungnya, kakak kandung Siti Hanifah, berkumpul bersama jurnalis lainnya berada di jalan itu.
Hari itu, Abdul Wahab mengabadikan momen perobekan bendera Belanda di Hotel Oranje. Menurut versi Hanifah, kakaknya itu sempat ditahan oleh Belanda di dalam Hotel Oranje yang menjadi markas Belanda setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia Kedua. Wahab akhirnya dibebaskan.
Beberapa roll film yang memuat foto-foto di Hotel Oranje itu dia keringkan di rumahnya, lalu dia titipkan kepada ibunya. Sarah yang begitu menyayangi putranya, menyimpan baik-baik roll film tersebut.
Hanifah saat itu baru berusia 18 tahun. Dia mengenal banyak tokoh jurnalis dan pemuda di lingkungan Bung Tomo karena kakaknya. Saat itu, Abdul Wahab Saleh dan Bung Tomo bekerja di Kantor Berita yang sama.
Pascaperobekan bendera, sekitaran akhir September 1945, organisasi Pemuda Putri Republik Indonesia (PPRI) terbentuk. Hanifah segera bergabung di wilayah Surabaya Utara. Dia didapuk sebagai wakil pergerakan bidang Palang Merah itu untuk wilayah sekitar Ampel.
Selama pertempuran berlangsung, Hanifah aktif melakukan kontak dengan para pejuang yang tergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI), yang berdiri sebelum PPRI. Kemampuan dan keberanian Hanifah teruji. Dia dikenal sebagai pejuang perempuan yang jarang berseragam. Lebih banyak mengenakan kerudung, kebaya, dan jarit saat menjalankan peran.
Dengan kostum demikian, Hanifah lebih leluasa menyelundupkan senjata untuk Arek Suroboyo di sekitar Ampel yang sedang menyiapkan perlawanan terhadap Belanda dan Sekutunya.
“Saya berjalan melalui got-got, waktu itu gotnya lebar dan dalam, padahal di atas got banyak berdiri tentara Gurkha. Saya berjalan pelan-pelan, lewat Jalan Ampel Lonceng, terus ke Nyamplungan, begitu saya sampai, prool, pertempuran mulai,” kata Hanifah saat wawancara dengan Drs Syawal, Staf Badan Arsip Jatim 2004 lalu.
Tidak jarang, saat hendak menemui kurir pejuang yang dikirim untuk mengambil pasokan logistik dan senjata, Hanifah harus berhadapan langsung dengan tentara yang dikenal oleh para pejuang sebagai Gurkha (tentara asal Nepal sekutu Inggris yang dikenal kejam).
Lagi-lagi, karena pakaiannya yang khas santriwati Ampel, serta dengan ketenangan luar biasa, Hanifah berhasil lolos dari tentara. “…, mereka tidak mencurigai saya, bahkan dengan ramah membalas salam saya. Anggapan mereka, mereka datang bukan untuk memerangi kaum muslimin, tapi memerangi ekstrimis. Padahal tas yang saya bawa isinya macam-macam, termasuk senjata,” kata Hanifah.
Pertempuran 10 November pecah. Inggris marah dengan kematian Jenderal AWS Mallaby yang memimpin Brigade ke-49 Infantri India pada 30 Oktober. Beberapa saksi sejarah menyebutkan, sebagian besar penduduk Surabaya sudah mengungsi ke Sidoarjo.
10 November 1945, Surabaya luluh lantak oleh peluru meriam yang dilancarkan terus menerus dari kapal-kapal perang Sekutu baik dari utara maupun dari timur. Lubang-lubang besar menganga di permukiman warga dan pusat-pusat perdagangan.
Situasi ini cukup berbahaya bagi para pengungsi. Tidak sedikit pengungsi yang terbunuh saat sedang dalam perjalanan keluar Surabayq. Hanifah menyebutkan, sejak pertempuran 10 November pecah, banyak hewan peliharaan yang berkeliaraan di kota. Mulai anjing, kucing, kambing, hingga sapi.
Hanifah adalah satu dari beberapa pejuang Arek-arek Suroboyo yang bertahan di Surabaya hingga lebih dari sebulan pascapertempuran 10 November itu pecah. Sementara Abdul Wahab, kakaknya, sudah lebih dulu keluar dari Surabaya.
Dia yang mendapat pelatihan kepalangmerahan pada masa pendudukan jepang dalam Fujinkai sempat mengurus jasad pejuang Arek Suroboyo yang bergelimpangan di sekitar Viaduk Jalan Pahlawan.
Lepas dari itu, Hanifah lebih banyak bekerja di dapur umum, menyediakan semua logistik yang diperlukan oleh pejuang selama pertempuran. Persediaan beras dari gudang logistik Jepang melimpah. Juga tak sulit bagi pejuang di dapur umum, mendapatkan daging kambing atau sapi selama masa-masa pertempuran.
Pada 22 Desember 1945, Hanifah menyebutkan bahwa tentara sekutu telah menduduki Surabaya sepenuhnya. Dia lebih banyak tinggal di rumahnya, di Pabean Sayangan, dalam kondisi ketakutan. Maimunah Sarah, ibunya juga tak kalah takutnya dengan suasana yang masih mencekam.
Beberapa warga yang menjadi antek intelijen tentara Belanda (dikenal sebagai IVG) berkeliaran mencari pejuang Surabaya. Hanifah takut, ada “tukang tuding” orang-orang yang memihak kepada IVG, menemukan dan melaporkan dirinya.
Pada hari-hari sebelumnya, dia mendapat surat dari rekan-rekannya yang sudah ada di luar Surabaya agar dia keluar dari sana. “Saya disuruh keluar, daripada dituduh mata-mata,” katanya.
Saat berpamitan dengan ibunya, Hanifah sempat dilarang. Tapi dia berhasil meyakinkan ibunya bahwa tujuannya keluar dari Surabaya juga untuk mencari Abdul Wahab, kakaknya.
“Lalu Ibu bilang ke saya, kalau keluar itu (roll film milik kakaknya) supaya dibawa,” kata Hanifah. Lalu bersama beberapa orang pejuang, dia pun berupaya keluar Surabaya melalui jalur laut dengan perahu dari Kenjeran menuju Sidoarjo.
Roll film milik kakaknya itu dia simpan dalam sebuah kain yang dia selipkan di kendit (ikat pinggang) yang mengikat jaritnya. Lagi-lagi, dengan pakaiannya yang layaknya warga sipil, dia kembali lolos dari pemeriksaan tentara Sekutu.
Perahu itu mengantarkan dirinya ke Desa Gelam, Tanggulangin, Sidoarjo, Markas Tentara di bawah pimpinan Mayjen Sungkono. Dia dan roll film yang dia bawa selamat sampai tujuan, meski dalam perjalan sempat muntah-muntah karena mabuk laut.
Dari Sidoarjo, dia meminta rekannya agar mengantarnya ke malang. “Saya minta diantar ke Malang. Mau ketemu saudara. Ndak bilang, ndak, kalau mau ngasih film itu ke Kakak saya,” ujarnya.
Roll film itu dia berikan kepada Abdul Wahab, kakaknya, yang gembira bukan kepalang. Sebab di dalam roll film itu selain ada foto-foto perobekan bendera, juga ada foto-foto pidato Bung Tomo di Tambaksari, serta foto Jenderal AWS Mallaby bersama Soekarno.
Arsip foto itu, oleh Abdul Wahab Saleh telah diberikan kepada Wiwik Hidayat, seorang wartawan Djawatan Penerangan. Kini, foto-foto itu, terutama peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Oranje, menjadi saksi sejarah perjuangan “Arek-arek Suroboyo.”
Hanifah masa kini tinggal di rumah Elva Chifti (58), putrinya, di Jalan Garuda Nomor 16 di lingkungan Perumahan Rewwin, Waru, Sidoarjo. Sudah sejak 2010 lalu, Hanifah mengalami stroke dan kini hanya bisa berbaring di kamarnya.
“Sayangnya ibu sudah tidak bisa ngendikan (berbicara). Saya sendiri sering mendapat cerita dari Ibu, tapi ya sepotong-sepotong,” kata Elva ketika ditemui suarasurabaya.net, Selasa (8/11/2016).
Elva adalah putri keempat pasangan Siti Hanifah dan Soehaimi Ikhsan. Dia satu-satunya anak perempuan pasangan yang bertemu di masa revolusi. Karena itu namanya pernah menjadi nama perusahaan bus dan konveksi yang pernah dijalankan Hanifah pascarevolusi Surabaya.(den/rst)
Teks Foto:
– Arek Suroboyo sebelum peristiwa perobekan bendera Belanda di depan Hotel Oranje. Foto: Ilustrasi
– Rakyat Surabaya bersiap dengan senjata parang dan bambu runcing sebelum perobekan. Foto ini diabadikan oleh Abdul Wahab Saleh, fotografer Kantor Berita Antara. Foto: Capture Buku 10 November (Bung Tomo)
– Siti Hanifah muda saat masih bergiat dalam berbagai kegiatan Seinendan dan Fujinkai di masa Pendudukan Jepang. Foto: Istimewa
– Penampilan sehari-hari Siti Hanifah saat berjuang di masa revolusi Surabaya. Foto: Istimewa
– Siti Hanifah mengenakan seragam veteran. Kini kondisi kesehatannya hanya memungkinkan dirinya berbaring di kamarnya. Foto: Istimewa
– Elva Chivti Putri Keempat Sii Hanifah dan Soehaimi Ikhsan di depan foto-foto masa silam Hanifah di rumahnya di Rewwin. Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net