Prof Rhenald Kasali Guru besar UI mengingatkan praktisi pariwisata Bali agar mewaspadai fenomena overcrowd dalam menyambut liburan besar akhir tahun.
Pelancong menghendaki suasana gembira dan waktunya bisa terpakai efektif selama liburan. Namun lonjakan pelancong akhir tahun bisa membuyarkan harapan itu. Macet dimana-mana dan tak bisa kemana-mana kalau daya dukung tak ditingkatkan.
Ia mencontohkan, akhir tahun 2018 lalu telah muncul demo besar penduduk di berbagai destinasi wisata terkemuka dunia. Venesia adalah salah satunya. Gejolak serupa juga terdengar di Spanyol, Prancis, Belanda dan Kroasia.
Apa yang mereka persoalkan? “Tempat indah ini hanya dijadikan area selfie kalau turis tak sempat makan dan hanya bersandar di kapal pesiar. Jalanan macet. Harga-harga tempat tinggal dan makanan melambung”.
Mereka juga meributkan kedatangan kapal pesiar yang wisman-nya tak makan di restoran mereka. Hanya makan ice cream lalu ngeloyor dan meninggalkan sampah.
Tentu saja fenomena itu pertama-tama dialami negara-negara sejahtera yang dikenal bersih dan sudah memasuki fase leisure economy. Bahkan bekerja ditambah sejam dalam seminggu saja, bisa membuat mereka marah besar.
Suara turis berteriak di atas sampan yang melintas di kanal Amsterdam pun dianggap mengganggu. Beda sekali dengan penduduk kota Bandung yang masih bisa tersenyum dimaceti turis lokal di akhir pekan.
TOA vs Sosial Media
Gejolak opini penduduk lokal memang tak seramai demo buruh atau mahasiswa yang masih menggunakan cara lama berupa perang spanduk atau ber-TOA ria di jalan raya sambil membawa batu dan meneriakkan yel-yel tertentu.
Gejolak massa yang hadir secara fisik di abad 20 yang diramaikan surat kabar dan televisi kini memang mulai beralih ke sosial media. Dan itu sudah bisa membuat pemimpin grogy.
Tengok saja bagaimana ketua serikat pekerja yang menjadi bulan-bulanan netizen terkait skandalnya, atau toko roti tertentu yang bisa mendadak sepi karena #MO di media sosial.
Sebuah studi yang dilakukan oleh cyberpsychologist bahkan menemukan, remaja yang di-bully di dunia maya akan cenderung memilih bunuh diri ketimbang yang di-bully di dunia nyata.
Begitulah Walikota Amsterdam dan Venesia menyikapi keluhan penduduknya. Mereka akhirnya mengambil sikap untuk membatasi kedatangan turis, bahkan kapal pesiar pun dikenakan premi tinggi. Penyebaran Airbnb pun dibatasi.
Larangan-larangan dikeluarkan untuk melindungi penduduk kota dari ketidaknyamanan.
Perdebatan Density Index
Menurut organ PBB yang menangani pariwisata, UN WTO, sejumlah destinasi memang tengah mengalami overcrowd. Kebanjiran turis akibat Youtube dan Google bisa berakibat ketidaknyamanan pada waktu tertentu. Padat, macet, sempit, sampah, mahal, mengganggu ritual budaya, buang waktu dan berpotensi membuat turis mudah berang.
Overcrowd itu bisa dilihat dari rasio antara jumlah turis terhadap penduduk lokal. Dan pemenangnya tahun lalu adalah Venesia di Italia dengan rasio 31, artinya sebanyak 613 ribu penduduk lokal kebanjiran 20 juta wisatawan. Lalu disusul Amsterdam (20) dengan 17 juta turis untuk 830 ribu penduduk. Paris (9) 18 juta wisman untuk 2 juta penduduk.
Namun kalau kita mengacu pada badan PBB World Tourism Organization (UNWTO), besarannya tak setinggi kota-kota di atas. Melalui Intrepid Travel, UNWTO mengumumkan Tourism Density Index yang pemenangnya adalah negeri yang dipopulerkan film Game of Thrones, Kroasia (dengan rasio 14) berikutnya Islandia (6), Denmark (5), Singapura dan Yunani (3) dan Spanyol (2).
Bagaimana Indonesia? Secara umum Indonesia masih masuk dalam kategori undercrowd atau undertourism karena jumlah turisnya masih jauh di bawah jumlah penduduknya.
Rasio Indonesia (23) masih disejajarkan dengan negara-negara potensial wisata seperti Mesir (18), Kenya (36) dan Tanzania (43).
Butuh Bali Baru
Namun demikian, meski jumlah wisatawan masih 1/23 dari jumlah populasi, destinasi wisata Indonesia harus waspada mengingat gairah melancong penduduk lokalnya sangat tinggi.
Diketahui jumlah kunjungan wisatawan domestik kita melesat begitu pesat menyusul membaiknya infrastruktur darat dan udara, low cost carrier, sharing ride dan sharing-based apartment.
Density index pada tourism di Bali telah mencapai angka yang mengkhawatirkan yaitu 4 (16,6 juta wisatawan untuk 4,3 juta penduduk). Apalagi daya dukung Bali untuk pengembangan infrastrukturnya agak dibatasi. Sementara daya Pesona Bali sebagi destinasi kunjungan utama dunia terus membaik.
Oleh karena itulah para perencana dan pemimpin daerah perlu hati-hati dalam menyambut era baru kedatangan wisatawan milenial. Pengusaha wisata Bali perlu mengubah strategi dari eksploitasi Bali tok menjadi orkestrator yang turut mengantarkan turis ke destinasi-destinasi baru di luar Bali untuk mendapatkan sumber pendapatan baru.
Sementara negara perlu menciptakan sandar bagi Bali-Bali baru yang tak jauh dari apa yang bisa diberikan oleh Bali. Ini tentu menuntut perubahan mindset dan kewirausahaan.
Bagi wisatawan, memilih waktu yang tepat untuk melakukan kunjungan wisata akan menjadi penentu untuk dapat menikmati liburan yang menyenangkan. Kalau tidak, kepenatan, umpatan dan keteganganlah yang akan dibawa pulang.