Seto Mulyadi Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mengatakan, polisi harus memberikan sanksi yang seberat-beratnya terhadap predator anak. Termasuk memberikan hukuman kebiri kimia agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya.
Menurutnya, kebiri kimia adalah bagian dari upaya rehabilitasi. Namun demikian, kebiri kimia harus disertai pendampingan psikologis untuk memberikan pemahaman kepada pelaku terkait kondisi libidonya yang membahayakan anak-anak di sekitarnya.
Pendampingan itu sekaligus memberikan pemahaman bahwa kebiri kimia sebenarnya untuk mengobati bukan menyakiti. Kalau kebiri kimia dilakukan tanpa pendampingan psikologis, dikhawatirkan pelaku memiliki rasa dendam dan bisa melakukan hal-hal nekat lainnya.
“Jadi harus ada pendekatan psikologi untuk mengajarkan kepada pelaku. Kalau libidonya terlalu tinggi, sehingga dengan mudah mengulang lagi perbuatannya setelah keluar dari penjara. Perlu diberikan pemahaman dan persetujuan pelaku, kebiri dilakukan dalam tanda kutip pengobatan,” kata Seto, Jumat (29/11/2019) di Polda Jatim.
Kebiri kimia tanpa pendampingan psikologis itu, menurut Seto tidak sejalan dengan visi misi kedokteran untuk menyembuhkan. Karena tidak menyembuhkan secara psikologisnya. Sehingga, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) enggan menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia.
“Yang ditolak dari IDI kalau itu sebagai hukuman, karena dokter itu menyembuhkan. Tapi itu (kebiri tanpa persetujuan pelaku, red) tidak menyembuhkan dalam konteks psikologisnya,” kata dia.
Dengan memperhatikan pendampingan psikologis itu, Seto menilai kebiri kimia bisa saja diterapkan dan dimungkinkan dilakukan oleh petugas medis. Karena itu untuk menyembuhkan pelakunya dalam arti menyadarkan dan mengendalikan nafsunya.
“Intinya rehabilitasi itukan agar dia bisa bermasyarakat kembali. Jadi ini bukan penjara jaman kolonial yang sifatnya balas dendam. Tapi rehabilitasi sifatnya menyembuhkan. Sehingga dia tidak mengulangi lagi dan dia bisa terus mengembangkan kegiatannya. Iya dimungkinkan, tapi bukan untuk balas dendam,” terangnya.
Selain kebiri kimia, Seto juga menyebutkan hukuman berat lainnya yang harus diberikan kepada pelaku. Yaitu menyebarkan identitasnya dan modusnya dalam melancarkan aksi kejahatan. Ini agar masyarakat lebih waspada.
Dia juga mengingatkan pentingnya menyembuhkan trauma korban kekerasan seksual. Ini untuk mencegah korban menjadi pelaku kejahatan yang sama di masa depannya. Ibarat luka, apabila terus dibiarkan menganga akan menimbulkan kecacatan. Dalam hal ini, treatment sosiologis dan terapi sangat dibutuhkan.
“Korban itu perlu mendapatkan perlindungan khusus sesuai Nomor 35 tahun 2014, dengan melibatkan berbagai lembaga dan kementerian. Kemudian haknya untuk mendapatkan restitusi penggantian dari pelaku atau kalau tidak mungkin dari pelaku bisa dari lembaga negara kompensasi. Jadi masa depan korban juga lebih bagus. Karena dari penelitian kami, banyak pelaku-pelaku yang dulunya adalah korban,” jelasnya. (ang/iss)