Sabtu, 23 November 2024

RTH dan Ruang Publik Belum Sesuai, Jatim Masih Rawan Banjir

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Luapan suangai bengawan solo yang sering mengakibatkan banjir di sebagian Jatim. Foto: Suaramerdeka.com

Toni Indrayanto Kabid Pengembangan Regional Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jatim mengatakan, salah satu faktor yang cukup menentukan terjadinya bencana banjir di sebuah daerah adalah perubahan fungsi lahan.

Misalnya, yang sangat sering ditemui di berbagai daerah di Jawa Timur, perubahan fungsi bantaran atau sempadan sungai. Tidak hanya itu, ruang terbuka hijau (RTH) menjadi instrumen penting pengurangan risiko bencana akibat cuaca dan iklim.

Berdasarkan data Bappeda Provinsi Jatim 2015, rasio RTH per luas kawasan perkotaan di Jatim baru sebanyak 16,25 persen. Yakni 58.750,46 hektare dari total luas kawasan perkotaan 361.541,30 hektare.

Sementara, pada tahun yang sama Bappeda Jatim mencatat, ada sebanyak 19,58 persen ruang publik yang telah berubah peruntukannya. Seluas 114 hektare ruang publik telah berubah fungsi dari 582,23 hektare yang seharusnya ada.

Padahal, sesuai Undang-Undang 6/2007 tentang Penataan Ruang, ruang terbuka hijau privat di wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Sedangkan ruang terbuka hijau publik seperti taman kota, paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota. Hal ini seharusnya sudah termuat dalam RDTR masing-masing kabupaten/kota di Jatim.

Solusinya, adalah konsistensi pemerintah soal perizinan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang telah ada. Daerah yang seringkali terdampak banjir, kata Toni, bisa jadi karena di masa lalu Pemda setempat tidak konsisten menerapkan fungsi lahan sesuai RTRW.

“Yang perlu dilakukan saat ini adalah pengendalian pemanfaatan ruang. Kalau di RTRW atau RDTR lahan itu fungsinya sebagai RTH, ya jangan beri izin untuk membangun lainnya,” ujarnya.

Dasar hukum pengendalian izin ini sudah ada, yaitu Pergub 80/2014 tentang Izin Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Pengendalian Ketat Skala Regional Provinsi Jawa Timur.

“Jadi ini kan lintas sektor. Misalnya dalam hal penyediaan air bersih, juga PLN, kalau memang lokasi itu dilarang ya jangan dikasih air atau listrik. Pengawasan ini juga oleh masyarakat. Seharusnya kalau masyarakat tahu, seharusnya sudah terfilter di tingkat ketua RT atau ketua RW,” ujarnya.

Pemprov Jatim sendiri, kata Toni, secara umum telah menerapkan pengendalian izin pemanfaatan ruang ini dalam praktik pemberian izin di UPT Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T) Provinsi Jatim.

Perlu diketahui, bencana yang rawan terjadi di Jawa Timur adalah bencana hidrometeorologi, yakni bencana yang disebabkan faktor cuaca seperti banjir, longsor, puting beliung dan gelombang pasang.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jatim, sepanjang 2016 hingga November lalu telah terjadi sebanyak 213 kejadian banjir dan 273 longsor, tersebar di 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur.(den/bid)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs